My Adventure in Indonesian Province
March 20, 2020Tersungkur Menyerahkan Segala Sesuatu Kepada Allah
April 11, 2020Pertemuan tentang semangat FMM
Puteri-puteriku, marilah kita memiliki rasa hormat yang kuat terhadap kesatuan ini, pada saat yang sama rahmat dan kepercayaan diberikan melalui cinta kepada Allah bagi kesetiaan dari kita masing-masing. Marilah kita jaga aturan, dan aturan pun akan menjaga kita CT/1:1
Adat istiadat FMM merupakah salah satu rahmat yang paling agung yang dicurahkan Sang Ilahi atas tarekat kita. Buku ini berperan penting dalam pendirian biara-biara baru dan keseragaman yang luhur menjadi buah dari adat istiadat yang dihidupi dengan setia oleh para suster pendahulu kita. Adat istiadat ini akan tetap menjadi rahmat bila kita dengan setia menjalankan pesan dari Ibu Pendiri , “Kita harus setia terhadap Adat istiadat tarekat”.
Seorang suster pernah mengungkapkan pernyataan ini kepada saya, “Kekudusan orang zaman dahulu sangat terbantu oleh peraturan-peraturan, maka menjadi orang kudus di zaman yang diwarnai dengan kebebasan ini sungguh sesuatu yang luar biasa dan menantang atau dengan kata lain bagai melawan arus zaman”.
Saya setuju dangan pernyataan tersebut karena realitanya memang seperti ini. Tetapi Yesus mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi Allah”. Jadi meski terdengar mustahil, tatapi kata-kata Kristus ini memberi daya agar kita berjiwa optimis sehingga dapat menjadi religius yang berani melawan arus dan dengan setia menjaga peraturan yang “aneh” di mata dunia saat ini.
Berikut ini beberapa tradisi FMM yang kami temukan, yang berkesan bagi kami dan masih relevan untuk tetap dihidupi.
Menjaga keheningan di tempat doa
“….keheningan hendaknya dijaga di dalam kapel; tidak diperkenankan bercakap-cakap di sana, dan apabila sedikit kata memang mutlak diperlukan, hendaknya diucapkan sangat singkat dan suara serendah mungkin” (CT/1:2).Melalui peraturan ini kita diajak untuk meningkatkan keheningan karena salah satu cara kita menghormati Allah yang bertakhta dalam tabernakel adalah sikap hening kita.
Di dalam kapel kita harus bersikap sopan dan tertib agar bisa mendukung suasana doa dan tidak menganggu orang lain. Hal ini seturut dengan yang disampaikan oleh Ibu Pendiri, “Kita harus menghindari hal-hal yang menimbulkan kebisingan selama latihan-latihan, seperti bersin, berdehem dengan cara yang keras dan tidak sopan, juga menggunakan sapu tangan secara berisik dan serabutan, terutama jika kita berada di Kapel“. CT/1:3
Silensium saat makan pagi dan gambar perjamuan di ruang makan
“Kita jangan makan terlalu cepat; ini terutama pada saat makan pagi kerena kita boleh meninggalkan setelah selesai… sangat penting bagi kita untuk tetap menjaga keheningan dan kehadiran Allah…. Untuk mengingatkan kita tentang mengadakan Ekaristi Suci, kita hendaknya memiliki sebuah gambar perjamuan terakhir di ruang makan kita” (CT/1:32).
Melalui artikel ini kita diharapkan untuk menjaga keheningan saat sarapan, sambil menghayati kembali komuni suci yang baru saja kita terima dalam Ekaristi, makan tidak terburu-buru, tetapi dengan wajar dan bersahaja. Diharapkan pula agar setiap komunitas memiliki gambar perjamuan di ruang makan sebagai lambang perjamuan abadi yang merupakan kerinduan kita.
Makna di balik tradisi mendaraskan Rosario saat cuci piring
“….Sambil mendaraskan Rosario, semua orang hendaknya ingat bahwa ini dipersembahkan bagi para penderma kita” (CT/1:39).
Mengenai pendarasan Rosario, hal ini mungkin sudah jarang dilaksanakan tetapi baik juga bila kita menghidupkannya kembali atau bila tidak kita dapat daraskan dalam hati dan intensi yang terpenting adalah mendoakan para penderma kita, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, karena kepada merekalah kita berhutang budi atas makanan, bantuan dan kebaikan-kebaikan lainnya yang kita terima secara cuma-cuma.
Menyanyikan lagu Ave Maris Stella dalam perjalanan
“Maksud utama menyanyikan Ave Maris Stella setiap hari adalah untuk meminta kepada Allah dan Bunda Immaculata-Nya perlindungan Sang Bintang Laut bagi penyebrangan-penyebrangan serta perjalanan mereka. Namun religius juga mempersembahkan lagu itu untuk melestarikan Gereja, Ordo dan jiwa mereka sendiri dari segala pencobaan” (CT/1:22). Setelah membaca artikel ini saya mengerti bahwa lagu Ave Maris Stella merupakan lagu kebangsaan FMM, tenyata lagu ini menjadi lagu wajib para suster yang berada dalam perjalanan terutama pada zaman dahulu yang bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan berada di atas kapal.
Meski tidak dalam perjalanan lagu ini juga wajib kita nyanyikan untuk kelangsungan Gereja kita yang dilanda gelombang pencobaan, untuk Tarekat kita yang sedang berada dalam proses transformasi dan akhirnya untuk diri kita agar melalui perlindungan Sang Bintang Laut kita dapat menghadapi cobaan yang hadir dalam hidup kita.
Petunjuk bangun
“Biarlah masing-masing orang, pada saat bel berbunyi, memberikan hatinya dan harinya kepada Allah dengan meninggalkan tempat tidur tanpa rasa malas. Dalam menjawab Ecce Ancilla Domini, masing-masing orang hendaknya mempersatukan diri dengan Bunda kita….(CT/1:6)” Kita hendaknya menyadari bahwa bel yang berbunyi adalah suara Allah, Sang mempelai Surgawi yang memanggil kita untuk berjumpa dengan-Nya. Saat bangun pagi kita mengatakan Ecce Ancilla Domini, dengan ungkapan itu kita akan dijiwai semangat Bunda yang mempersembahkan diri kepada Yesus dan melakukan apa yang menyenangkan bagi Dia. Hendaklah kita tidak bermalas-malasan, melainkan memiliki hasrat yang menggebu-gebu untuk menyambut Tuhan yang bangkit dalam diri kita seperti Maria Magdalena.
Tradisi mencium identitas religius
“Seorang religius hendaknya mengilhami rasa hormat terhadap pakaiannya melalui keteraturannya dan kerapihannya … Ketika kita mengenakannya, kita cium sabuk kita, skapulir, kerudung dan salib kita” (CT/1:6).
Kita menaruh rasa hormat terhadap pakaian religius kita dengan mengenakannya secara pantas dan rapi, selain itu mencium identitas religius kita sebelum mengenakannya merupakan tanda cinta dan syukur kita atas hidup panggilan. Bila dulu para suster kita mencium sabuk, skapulir, kerudung dan salib, alangkah baiknya juga bila kita mencium medali dan kerudung kita.
Dengan menciumnya kita sadar dengan apa yang kita kenakan, kita pergi kemanapun juga dengan membawa identitas kita yang kita cintai dan hormati.
Hal ini akan membantu kita untuk menjaga sikap dan perilaku sebagai seorang religius yang sejati.
Acara ini ditutup dengan Adorasi bersama, disaat itulah kami mempersembahkan niat-niat kami dan memohon rahmat Tuhan agar mampu mewujudkannya. Melalui cara sederhana dan konkrit inilah kami mencoba menjaga adat istiadat yang diwariskan Ibu Pendiri, kami pun berharap dengan menjaga aturan ini penggilan kami pun terjaga olehnya untuk selama lamanya.
Kontributor : Sr. Regina Vina Septiani, FMM (Komunitas Beata Marie de la Passion, Baubau)