Let Us Begin A New
January 19, 2021God’s Wonder in Creation!
January 29, 2021Setelah menanti 1 tahun lebih, akhirnya tiba pula saatnya saya berangkat dari Yangon ke Myitkyina, setelah melewati test kesehatan dan dinyatakan sehat dan bebas Covid 19. Bertepatan dengan HUT Tarekat ke 144, 6 Jan. 2021, saya berangkat menuju Myitkyina. Perjalanan sekitar 3 jam dengan pesawat. Saat saya tiba di Myitkyina jam 4 sore, suasananya seperti di Bajawa. Kota kecil dingin, terlihat subur dan dikelilingi oleh sungai besar, mereka sebut Ayeyarwady. Setiba di sana kami, seluruh penumpang, tidak diizinkan untuk langsung ke rumah, tapi harus menjalani karantina 7 hari, di tempat yang sudah ditentukan. Setelah 7 hari, kami ditest covid lagi, bila hasilnya negative, baru boleh ke rumah masing-masing. Syukurlah hasil test saya negative, jadi saya bisa dijemput oleh sr. Roi Tsun (Pilok).
Di komunitas, St. Clare – Eden ini, kami ada 8 suster (2 junior dan 6 profes kekal). Suasana persaudaraan dan kesederhanaan itulah kesan yang saya rasakan (Fransiscan Spirit). Halamannya cukup luas, mereka memelihara sapi perah (ada 19 ekor), ada banyak bebek dan ayam, juga sebidang tanah untuk kebun sayuran dan buah-buahan seperti pisang, pepaya, advokat, jeruk dll. Setiap hari kami minum susu segar dan yogurt, serta sayuran dan buahnya dari hasil kebun. Sungguh makanan baik untuk kesehatan.
Hope Center (HC) adalah tempat pelayanan saya, terletak sekitar 1 KM dari biara, jadi setiap hari kami (Sr. Mumu) dan saya jalan kaki ke sana dan ada 1 suster lagi, Sr. Monica, FMM dari komunitas Dhuketong (beda komunitas dengan kami), jadi saat ini ada 3 FMM yang bekerja di HC ini, yang merupakan milik keuskupan dan baru 3 tahun yang lalu, FMM dipercayakan untuk menjalankannya. Sebelumnya yang bertanggungjawab adalah Columbune Sisters dari Irlandia. Karya / pelayanan di HC ini, kalau saya perhatikan seperti “Shelter” khusus untuk pasien HIV. Jadi suasananya memang bukan seperti RS.
Saat ini ada 13 klien yang dirawat (11 pria dan 2 wanita). Selain yang dirawat/tinggal di HC, kami pun membantu memberikan makan pagi dan malam untuk pasien HIV yang dirawat di RS (saat ini ada 7 orang), maka setiap pagi dan sore kami antar makanannya ke RS (karena di RS hanya memberi makan siang). Selain itu, biasanya mereka juga melakukan kunjungan rumah pasien-pasien HIV untuk memantau kesehatan, gizi dan obatnya (tapi karena situasi Covid, maka program ini tidak dapat dijalankan), hanya beberapa keluarga pasiennya saja yang datang untuk mengambil obat dan makanannya (beras, kacang merah/kuning, minyak, susu dan supermi) sebulan sekali. Aktifitas harian saya di HC ini; kami datang jam 9 langsung kunjungi klien-klien, tanya kondisi mereka, lalu membantu di dapur menyiapkan makan siang dan malam, jam 12 saya membantu membagikan makan, jam 2 mereka mendapat snack, dan jam 4.30 sore, makan malam, sekitar jam 5 kami pulang ke biara. Begitulah keseharian saya di sini.
Di Myitkyina ini, mereka juga mempunyai bahasa sendiri, disebutnya bahasa Kachin, berbeda dengan bahasa Myanmar jadi saya harus belajar lagi bahasa Kachin, untungnya tulisan dalam bahasa Kachin menggunakan alphabet, jadi lebih bisa dan mudah dibaca / dieja, meski saya tak mengerti artinya.
Berawal dari percakapan saat makan di biara, mereka berkata bahwa biasanya menurut adat/budaya mereka, bila seorang misionaris datang akan diterima (diadopsi) ke dalam satu keluarga. Maka Sr. Lucy Bernard katakan bahwa bliau akan menyampaikan ke Bapak Uskup. Dan sungguh tak diduga, saya kira hanya bercanda, namun ternyata benar. Pada tgl 20 Januari yang lalu, saya dijemput oleh Uskup Francis, untuk ke rumah saudari beliau, dan di sana saya diterima secara adat mereka untuk masuk menjadi keluarga dan saya diberi nama Nun Daw Htu San May. Nun Daw adalah nama famili (mungkin kalau di Indonesia nama marga); Htu berarti anak perempuan ke-4; San berarti bercahaya dan May berarti baik… jadi artinya kata Bapak Uskup, saya adalah anak putri ke-4 yang bercahaya dan baik (semoga saja …..) sungguh terkesan dan mengejutkan, karena saya kira itu hanya candaan belaka tapi rupanya memang benaran. Dalam acara tersebut, saya juga diberi berkat khusus oleh Bapak Uskup. Semoga apa yang didoakan dan berkat yang saya terima menjadi kekuatan bagi saya dalam bermisi di Myitkyina ini.
Terima kasih Tuhan, engkau sungguh baik. Kekal abadi kasih setiaMu (Mz. 118:1)
Saya sungguh bersyukur atas kasih setia-Mu yang tak terbatas, dalam peristiwa dan perjumpaan pribadi-pribadi yang belum saya kenal sebelumnya, meski kadang saya mengalami tantangan (khususnya dalam bahasa) dan juga perasaan jauh dari keluarga, namun Engkau senantiasa mengutus orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang meneguhkan dan menyemangati saya untuk menjalani misi ini. Saya sungguh merasakan kehadiran-Mu dalam diri mereka. Saya pun semakin menyadari kebahagian sejati tidaklah terletak dari kenyamanan/kemapanan tapi, terletak dari bagaimana saya menjalani dan mensyukuri kehadiran pribadi dan peristiwa yang ada.
Saya yakin bahwa Engkau selalu hadir disana dan di dalam diri mereka.
Myitkyina – Myanmar, 24 Januari 2021
Rina FMM