Pengalaman Suster-suster FMM di Soa Bersama Ordo Fransiskan Sekular
February 3, 2022Dia – Sang Pelukis Hidupku
February 18, 2022Tanggapan yang kreatif terhadap “konteks yang membentuk kita”
Kita mengijinkan konteks untuk membentuk dalam diri kita suatu kesadaran baru akan panggilan misionaris. Kita tidak memiliki semua jawaban, kita temukan jawaban bersama dengan orang lain dan pada saat yang sama kita belajar dari orang lain (2.7)
Bahan bacaan
- Markus 2: 18- 22
- Keluaran : 18 : 1-27
Konteks Global
Saat ini kita berada di masa Disrupsi, yaitu terjadinya perubahan radikal (kebiasaan lama tidak bisa dipakai lagi/ditinggalkan), perubahan yang cepat dan besar-besaran, dengan pola perubahan yang sulit ditebak, menyebabkan ketidakpastian. Ada berbagai macam perubahan diantaranya adalah Disrupsi Iklim Global yaitu perubahan iklim yang membuat bumi ini tidak seaman dan seramah dulu untuk ditinggali. Ada juga yang disebut Triple Disruption yaitu disrupsi Digital, disrupsi Pandemi dan disrupsi Milenial.
Terjadinya Pandemi mempercepat disrupsi digital, dimana aktivitas hidup berpindah dari dunia nyata ke dunia digital, termasuk Perayaan Ekaristi. Semua aktivitas bisa dilakukan dari rumah dengan menggunakan Smart Phone (HP). Generasi milenial yang lahir dan hidup di era digital lebih memilih yang serba simple, praktis dan cepat dalam menjalani kehidupan. Contohnya: Belajar bisa otodidak dari Youtube. Makan tinggal pesan Go-Food, tidak perlu lagi masak atau ke restaurant. Kerja bisa dari rumah tidak perlu lagi ruang kantor, atau bahkan kerja sambil berlibur dimana saja. Kerja juga lebih suka jadi Freelancer, bisa pindah-pindah kerja dan mendapat pengalaman baru. Pembayaran pakai HP, tidak lagi repot bawa uang atau kartu kredit. Hiburan pindah ke rumah dengan teknologi hologram. Bepergian tidak perlu lagi mobil sendiri karena lebih praktis pakai Go Car, tidak perlu punya mobil sendiri yang harus dirawat. Rumah tinggal tidak suka yang besar dengan barang yang banyak, karena tidak mau repot mengurusi barang. Konsep kepemilikan dalam bisnis/sekolah/rumah sakit diganti dengan konsep sharing / bagi hasil, bukan lagi pemilik dan pekerja tapi rekanan/partner. Digital juga membuat kehidupan menjadi semakin transparan, tidak ada yang bisa disembunyikan, baik data pribadi maupun data lembaga, bahkan gerak kita juga dapat terpantau.
Pandemi dan kerusakan bumi menimbulkan bencana alam dan bencana kesehatan yang diikuti oleh kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat tinggal, dan kemiskinan. Berkurangnya bahan bakar bumi juga menimbulkan ketegangan antar negara.
Dilain sisi, nampak bermunculan cara baru orang mencari penghasilan/uang yang bertolak dari kreativitas pribadi. Maka orang yang kreatif dan inovatif yang mungkin bisa tetap bertahan. Kreativitas yang diasah dengan baik dan benar berarti mengembangkan jati diri kita sebagai Co-Creator dari Allah Sang Creator.
Di tengah konteks global inilah kita hidup, namun masing-masing dari kita juga berada di konteks lokal dimana kita berada.
Tanggapan kita terhadap konteks
Biarawan-biarawati yang hidup di biara, disadari atau tidak disadari berada dalam konteks ini. Lalu Bagaimana konteks ini bisa membentuk kesadaran baru akan panggilan misionaris kita?
Berbicara tentang “kesadaran baru akan panggilan misionaris” berarti ada kesadaran yang lama dari panggilan misionaris kita, yang perlu kita kenali dan sadari. Ini mengajak kita untuk menyadari keberadaan dan keadaan misi kita saat ini ditengah situasi dunia yang terus berubah. Aspek mana yang kemudian menjadi semakin mundur/merosot/menurun (istilah profannya tidak mampu eksis lagi, tidak mampu bersaing lagi, tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah dan masyarakat, tidak ada lagi unsur pewartaan, bahkan mengganggu hidup panggilan kita) karena kita tidak bisa mengikuti perubahan itu. Dan aspek yang menurun ini kemudian juga akan menurunkan kualitas misi dan pewartaan, hingga mematikan misi kita secara perlahan. Lalu kesadaran baru apa yang muncul saat kita menyadari turunnya kualitas misi kita?
Allah Sang Creator mencipta dari ketiadaan, manusia hanya bisa mencipta hal yang baru (bahannya sudah ada hanya perlu di perbaharui, dirancang, dikembangkan, diinovasikan dengan kekuatan kreatifitas kita). Kesadaran akan aspek yang mundur/ menurun dalam misi kita, seharusnya mengajak kita untuk mencari secara kreatif dalam “ketaatan yang kreatif” (melakukan yang baru tanpa menunggu diminta, dengan tetap dalam koridor ketaaatan; meminta ijin, memberi tahu dll) solusi-solusi baru dengan melihat peluang-peluang yang ada, bisa jadi harus melepas cara lama dan memulai dengan cara bermisi baru.
Kesadaran untuk menemukan jawaban bersama orang lain
Salah satu peluang yang ada saat ini adalah kekuatan kerjasama, karena kita tidak memiliki semua jawaban untuk persoalan misi kita. Di luar sana ada orang lain, kaum awam yang professional dalam bidang-bidang profan/duniawi, bidang yang bukan ranah kita sebagai rohaniwati. Kita adalah rohaniwati/religius yang hidup di dunia profan, memiliki kebutuhan yang sama dengan rekan awam kita; diantaranya kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Tetapi karena kita secara khusus menghayati kehidupan religious/rohani, maka profesionalitas kita tentunya lebih dalam bidang rohani dari pada bidang profan. Oleh karena itu awam lah yang punya solusi yang pas untuk masalah-masalah dalam misi kita terkait dengan kegiatan profannya. Mereka bisa bergerak lebih cepat dari kita seiring dengan tuntutan perubahan. Meskipun tidak menutup kemungkinan seorang suster ada yang ahli dalam memasak, ahli computer, dokter yang handal, pekerja social yang aktif, manajer yang kuat (Lalu juga akan semakin ahli melebihi awam professional jika keahlian ini difungsikan terus dan diamalkan dalam karya misi).
Dalam menanggapi jeritan dunia oleh karena kesakitan, kemiskinan, bencana, kita juga perlu kreatif mencari rekan-rekan awam (LSM, lembaga Gereja, pemerintah dll) untuk bekerja bersama membantu mereka. Sehingga misi kita tetap berjalan dan berdampak.
Kita belajar dari Musa, yang terbuka pada saran mertuanya dalam menanggapi konteks misinya. Dengan keterbukaannya itu Musa mendapat kesadaran baru bahwa dia tidak bisa kerja sendiri.
Inilah kesadaran baru, bahwa kita tidak bisa lagi bekerja sendiri seperti dahulu, tidak bisa lagi mengelola sendiri, kita tidak bisa lagi bergaya hidup seperti sebelum disrupsi, kita tidak punya solusi untuk semua. Kita juga perlu mendisrupsi hidup kita sendiri, mulai dari diri sendiri, meninggalkan yang lama dan tidak relevan, memulai yang baru dengan merangkul juga resiko-resiko yang mengikutinya. Seperti anggur yang baru dalam kantong yang baru.
Belajar dari orang lain
EGC menghimbau kita untuk belajar dari orang lain. Orang lain bisa suster FMM di komunitas, bisa rekan kerja, bisa umat paroki, bisa masyarakat lokal maupun global. Orang lain ini hidup dalam konteks global yang sama dan dalam konteks lokal yang bervariasi. Banyak cara orang lain menanggapi konteks dengan baik dan benar, lalu bertumbuh dewasa di dalam konteks tersebut, namun ada juga yang sebaliknya menjadi tidak berkembang bahkan mandeg. Disini dibutuhkan kualitas discernment, mempelajari dan memilah, peristiwa mana yang baik untuk kita jadikan bahan pelajaran dan mana yang tidak baik.
Kita ingin belajar dari orang lain bagaimana konteks mendorong mereka/kita untuk bisa memberikan tanggapan yang dewasa dan benar. Dalam Belajar dibutuhkan kerendahan hati pertama-tama untuk mengakui bahwa saya tidak tahu/perlu belajar, lalu juga kerendahan hati untuk bertanya, keterbukaan untuk belajar hal-hal yang baru, kesediaan untuk mengerti apa yang orang lain ungkapkan. Ini mengandaikan kemampuan komunikasi yang lancar dan terbuka.
Dalam belajar dibutuhkan juga kedalaman dan keluasan wawasan untuk memahami konteks pembelajaran, tidak hanya dari satu sudut pandang saja, tetapi dari berbagai sudut pandang.
Sederhana namun penting adalah ungkapan terima kasih dari hati kepada orang yang bermurah hati mau mengajari kita, juga meminta maap jika kita lambat untuk belajar. Bermurah hati juga untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Belajar yang paling efektif adalah dengan melakukan (learn by doing) bersama orang lain. Betapa indahnya ketika kita bisa saling belajar dan mengajar, tanpa ada yang merasa direndahkan atau merasa kecil dan tidak ada yang merasa pintar, lalu jadi sombong.
Pertanyaan refleksi
- Situasi / konteks macam apa yang saya hadapi saat ini?
- Bagaimana konteks ini membawa saya pada kesadaran baru / transformasi, pertobatan, pembaharuan?
- Kesadaran baru / transformasi apa yang sekarang perlu saya buat dalam misi saya?
- Bagaimana cara saya bekerjasama, cara saya belajar dan cara saya mengajari yang lain?