Celebration of Grace: 4 Young Women Embrace Their Vocation as FMM Pre-Novices
February 23, 2024Kehadiran yang Membawa Berkat: Kunjungan Suster Regional Superior ke Komunitas IC dan Emaus
March 25, 2024Salib bagi sebagian orang mungkin diartikan sebagai penderitaan, beban hidup, persoalan atau masalah yang berat, penyakit serta kesengsaraan lainya. Salib ini bisa jadi akibat dari perbuatan kita sendiri atau bisa juga kita menjadi kurban atas perbuatan orang lain.
Keadaan seperti ini tentu saja tidak diingini oleh kita, apalagi jika kita tidak bisa menemukan solusi atas salib ini, seolah semua jalan keluar menjadi buntu.
Situasi yang menyengsarakan ini bisa mempengaruhi sikap dan perilaku kita kearah yang baik atau kearah yang buruk. Situasi ini membawa kita kearah yang buruk jika kita kecewa, marah atau sedih yang berkepanjangan, berontak atau putus asa yang mendalam sehingga kita berpotensi bisa melukai diri sendiri, melukai orang lain, iri, benci, apatis dan stress.
Sebaliknya situasi ini bisa membawa kita ke arah yang baik, jika kita mampu menemukan apa maknanya bagi pribadi dan hidup kita.
Bagi pengikut Kristus, penderitaan kita sendiri bisa dilihat sebagai “mengambil bagian dalam penderitaan Kristus di Salib untuk penebusan dosa kita sendiri atau dosa orang lain yang membuat kita menderita”. Dan kita bisa menimba kekuatan dari Kristus yang pernah mengalami penderitaan, belajar dari-Nya bagaimana bisa bertahan menjalani derita salib sampai selesai, dengan tetap menjaga sikap dan perilaku yang positif.
Kita bisa belajar dari Yesus yang tergantung di Salib. Betapa sakit raganya, perih kulitnya, dan mungkin lelah jiwanya mendengar cemoohan orang, tetapi meskipun demikian keadaaannya, Ia masih bisa menjaga sikap dan perilakunya seperti ketika sebelum mengalami derita salib. Tidak hanya menjaga sikap tetapi juga masih bisa menularkan damai Tuhan kepada orang-orang yang berada di dekat-Nya.
Selaras dengan gerak Allah
Selaras dengan gerak Allah merupakan upaya terus menerus dalam mencari kehendak Allah dan melaksanakannya melalui doa atau bercakap-cakap dengan Allah. Upaya terus menerus ini akan membuat kita menjadi peka pada kehendak Allah itu sendiri yaitu konsisten melakukan apa yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Kitab Suci.
Jika kita sering bercakap-cakap dengan Allah, maka kita akan menjadi akrab yang nampak dari cara doa dan ungkapan doa kita yang semakin kreatif dan berfariasi.
Upaya Yesus menyelaraskan diri serta hidupnya pada kehendak Allah dilakukan lewat doa-doa-Nya, seperti yang terjadi di Taman Getsemani ketika Dia mengatakan “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki. (Mat.26:39).
Kita tahu kemudian bahwa Yesus menerima apa yang menjadi kehendak Allah yaitu menjalani penderitaan di Salib untuk penebusan dosa dan keselamatan umat manusia.
Mulai dari perjalanan memanggul salib, di siksa dan diolok-olok, sampai di paku di kayu Salib, Yesus diam dan tetap tenang. Dalam derita salib itu Yesus masih mampu merasakan kehadiran Allah yang membisu dan yang membiarkan derita itu terjadi. Ia berdoa dengan mendaraskan Mazmur 22 : “ ya Allah Ku mengapa Engkau meninggalkan Daku? (Mat.27:46).
Kalimat doa yang menunjukkan betapa dekatnya Yesus dengan Allah. Pilihan kata yang menunjukkan keakraban-Nya dengan Allah, suatu ungkapan kerinduan akan Allah, harapan dan Iman akan adanya Allah yang diyakininya selalu memberikan kekuatan dan penghiburan rohani.
Ungkapan kerinduan ini berangkat dari kenyataan bahwa Yesus merasa Allah telah meninggalkannya, karena dosa manusia yang ditebus oleh-Nya dan kini ditanggung-Nya dengan penyaliban, dengan tujuan untuk menghasilkan pendamaian antara Allah dengan Manusia.
Penderitaan tidak menjauhkan Dia dari Allah, penderitaan tidak membuat Dia marah pada Allah atau putus asa, karena menjelang akhir hidupnya Dia tetap menyerahkan hidup-Nya kepada Allah: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk.23 : 46)
Keakraban yang berlanjut pada persekutuan dengan Allah. Tirai pemisah antara tempat mahakudus dari tempat kudus, terbelah dua, (Mat.27:51). Tidak ada lagi pemisah antara yang insani dan yang Ilahi, antara manusia dan Allahnya. Kesempatan untuk Menyelaraskan diri pada gerak Allah menjadi terbuka hingga sekarang, sejauh kita mau mendekati Allah dan berdoa kepada-Nya, tanpa henti-henti, hingga pada saat hembusan nafas kita yang terakhir, menyerahkan nyawa kita kembali kepada penciptanya.
Sudah selesai dengan diri-Nya, untuk menyelesaikan misi Bapa
Dalam penyiksaan yang menyakitkan itu Yesus, tetap tenang menjalaninya. Tidak ada ungkapan rasa negatif yang keluar dari mulutnya, malahan Ia masih bisa menghibur orang lain yaitu wanita-wanita yang menangisinya di jalan (Luk.23:28).
Ia sadar bahwa derita ini adalah konsekuensi dari pilihan-Nya untuk melaksanakan kehendak Allah menyelamatkan umat manusia dari dosa dan maut. Ia tidak berontak atau melarikan diri meskipun ada kemampuan untuk melarikan diri.
Sebagai seorang manusia Ia sudah selesai dengan diri-Nya, tidak ada lagi kepentingan diri yang harus didahulukannya atau diurusnya, tidak lagi cari nyaman dan aman untuk kesenangan diri-Nya, sehingga kepentingan-Nya adalah melaksanakan kehendak yang menciptakan-Nya, yakni menyelamatkan umat manusia.
Ungkapan “Aku haus” (Yoh.19:28) menunjukkan betapa berat jalan salib tersebut, menimbulkan rasa haus, kekeringan atau dehidrasi. Ungkapan ini dikutipnya dari Mazmur 69, untuk menyatakan penggenapan dari Mazmur tersebut.
Ungkapan ini juga menunjukkan kesepian Yesus yang mendalam akan Roh Allah, Air Hidup yang meninggalkan-Nya, Allah yang membisu dalam jalan salib Yesus.
Sebagai Allah, Yesus juga haus dan rindu untuk membawa manusia yang berdosa kepada Allah, untuk mengumpulkan manusia yang tercerai berai.
Sebagai pribadi yang sudah selesai dengan dirinya, Ia mampu dengan bebas mengungkapan diri dan kehausan-Nya tanpa takut diejek dan ditertawakan. Kehausan yang mengandung banyak makna.
Sebagai pribadi yang sudah selesai dengan diri-Nya Yesus dengan yakin mengatakan: “Sudah selesai” (Yoh.19:30). Ia yang datang dari Allah ke bumi untuk melaksanakan kehendaknya, sudah menyelesaikan tugas-Nya dengan sempurna.
Tugas yang sudah diselesaikan ini membawa hasil yang berlaku sepanjang masa dan berdampak pada keselamatan seluruh umat manusia. Ia tidak menempatkan diri-Nya sebagai kurban tetapi sebagai subyek yang mempersembahkan hidup- Nya, mencurahkan darah-Nya bagi pendamaian umat manusia dengan Allah.
Ia yang datang dari Allah akan kembali kepada Allah, karena pekerjaan Allah sudah selesai, sudah tergenapi dan terpenuhi oleh-Nya.
Sebagai pribadi yang sudah selesai dengan dirinya, Ia memiliki ketulusan, kesungguhan, totalitas dan fokus pada misi yang diemban-Nya hingga bisa terselesaikan dan berdampak positif pada orang lain serta generasi berikutnya.
Menyebarkan Pengampunan, Keselamatan dan Persatuan
Di tengah kesengsaraan Salib, dengan besar hati Yesus berkata: “ Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34). Perkataan ini mengungkapkan bahwa Yesus tahu dan paham kalau mereka yang menyalibkannya itu tidak tahu jika Yesus adalah Mesias yang mereka nantikan.
Perkataan ini juga menunjukkan bahwa Yesus seorang pribadi yang sungguh melaksakan apa yang diajarkannya tentang pengampunan.
Pemahaman menjadi pintu masuk pada pengampunan. Mengenal dan mamahami orang lain, akan mempermudah kita untuk mengampuni orang yang melukai kita, karena kita paham mengapa orang tersebut melakukan hal yang tidak baik itu. Sehingga kita tidak sakit hati, marah atau benci pada mereka yang melukai kita. Dengan demikian energi kita untuk marah dan sakit hati bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang berguna.
Di sebelah Yesus ada dua orang penjahat yang disalib, yang satu menghujat Yesus sedangkan yang satu membenarkan Yesus (Luk.23:43). Sisi gelap dan sisi baik yang sedang bergulat, saling mempengaruhi untuk memiliki pemahaman yang sama akan Yesus. Yang baik berusaha menjaga kepercayaannya akan Yesus sebagai yang tidak bersalah, sehingga ia dengan penuh kepercayaan meminta kepada Yesus untuk membawanya ke Firdaus.
Saat menanggung penderitaan yang luar biasa Yesus masih bisa menyelamatkan orang berdosa untuk masuk ke Firdaus. Ia tidak mengasihani diri-Nya, perhatian-Nya justru terfokus pada orang lain. Ia mengabaikan hujatan dari penjahat, tetapi fokus pada yang baik dan yang percaya pada-Nya. Dan dengan segera Ia menanggapi permohonan penjahat yang percaya itu untuk masuk ke dalam Firdaus. Yesus melakukan semuanya itu dengan tenang dan mantap. Ia fokus pada kebaikan yang menjadi bekal untuk masuk Firdaus.
Dari atas salib Yesus tidak mempertanyakan sahabat-sahabat-Nya yang tidak hadir, tetapi Ia memperhatikan orang-orang yang ada dihadapan-Nya saat itu yaitu Maria ibu-Nya dan Yohanes murid-Nya. Pada dua orang yang dekat dengan-Nya, Yesus mewariskan wasiat terakhir yaitu persekutuan antara ibu dan murid-Nya, persekutuan yang kemudian disebut Gereja (Yoh 19:26-27). Maria menjadi Hawa baru yang membawa kembali Kehidupan yaitu Yesus Putera Allah yang dilahirkan-Nya. Maria membawa Damai yang kemudian lewat derita Salib, Raja Damai itu telah mendamaikan Allah dengan manusia.
Pertanyaan Refleksi
Sebagai Fransiskan Misionaris Maria, pengikut Fransiskus pembawa damai,
- Apa yang bisa saya teladani dari Yesus di Salib, terkait dengan Relasi damai kita dengan Allah, dan dengan diri kita sendiri ?
- Dengan belajar dari Yesus di Salib, bagaimana saya mau menularkan pengampunan, keselamatan dan persatuan kepada sesama?