Tri-Hari Suci yang Mengesankan Bersama Umat Stasi Petaling-Jambi
May 12, 2021Window of Love
May 19, 2021Menanti adalah saat yang paling melelahkan dan membosankan. Awalnya memang saya merasa demikian. Setahun lebih saya menanti saat perutusan ke Myitkyina – HOPE CENTER, dimana saya bisa melakukan pelayanan merawat pasien yang menderita penyakit HIV – AIDS, seperti yang disampaikan saat saya akan bermisi/diutus ke Myanmar. Tapi karena masalah dokumen (visa) dan dilanjutkan masalah pandemi Covid-19, maka saya tidak bisa segera ke Myitkyina. Namun akhirnya, bertepatan pada tanggal berdirinya Tarekat, 6 Januari 2021 yang lalu saya baru bisa berangkat ke sana. Perjalanan dari Yangon ke Myitkyina, seperti dari Jakarta ke Soa-Flores. Dan memang Myitkyina suasananya pun seperti Bajawa, kota kecil yang hawanya sejuk (dikelilingi sungai besar bukan pegunungan), tenang dan tidak terlalu banyak kendaraan. Mayoritas penduduknya beragama Kristen – Babtis.
Hope Center (tempat kerja saya) letaknya sedikit jauh dari biara, jadi kami (Sr. Mumu dan saya) jalan kaki sekitar 15 menit setiap pagi. Jam 8 kami berangkat dan pulang sore jam 5. Hope Center ini seperti “shelter” jadi suasananya seperti rumah biasa ada rasa kekeluargaan. Pada saat saya di sana ada sekitar 15-20 pasien. Ada yang tinggal menetap ada juga yang datang dan menginap 1 atau 2 malam untuk urusan kontrol ke dokter dan ambil obat, lalu pulang lagi ke rumah mereka. Yang tinggal di Hope Center ini pun, pada umumnya mereka mandiri/self care. Hanya pada waktu itu ada beberapa pasien yang baru masuk jadi masih tampak lemah sehingga saya beri infus.
Budaya kekeluargaan cukup kuat di Myitkyina. Jadi menurut budaya mereka, pendatang yang tidak ada keluarga harus di-“adopsi” / diangkat menjadi anak oleh suatu keluarga. Maka saya juga diadopsi oleh satu keluarga. Dan diberi nama: Num Do Htu San May. Artinya: Num Do adalah nama Marganya/family name; Htu: anak putri ke-4; San: Bersinar/bercahaya; May: baik. Jadi katanya diharapkan saya menjadi Suster dari keluarga Num Do yang memancarkan kebaika. Semoga ya semoga. Amin.
Belum 1 bulan, tiba-tiba suasana Myitkina yang tenang, aman dihentakkan dengan berita perang (Kudeta oleh militer). Kami (khususnya saya) tidak diizinkan untuk keluar rumah, jadi saya tidak boleh ke Hope Center. Memang pada tgl 1 Februari (hari pertama Kudeta) itu, pagi kami masih pergi seperti biasa jalan kaki ke Hope Center, tapi suasana di jalan sangat sepi, lalu sekitar jam 1 siang saya dijemput dengan motor oleh piloknya untuk pulang ke biara, karena katanya suasana tidak aman. Sejak hari itu, saya hanya diizinkan 2 hari dalam seminggu ke sana, namun akhirnya karena suasana semakin memanas, demo dimana-mana dan sudah ada beberapa korban jadi saya tidak diizinkan keluar rumah. Pasar dan toko-toko juga banyak yang tutup. Bahkan Rumah Sakit pun tutup, dokter, perawat dan karyawan lainnya mogok kerja, mereka turun ke jalan ikut berdemo.
Alat komunikasi, internet dan telpon beberapa saat diputuskan, atau pernah juga ada tapi sangat lemah jadi tidak bisa digunakan. Listrik pun sering padam. Dan ini rupanya tidak hanya terjadi di Myitkyina, tapi di seluruh Myanmar, termasuk di kota-kota besarnya seperti Yangon dan Mandalay juga sama sulit komunikasi, listrik sering padam dan setiap hari ada demo serta dengar berita tembak-tembakan oleh militer terhadap masyarakat sipil.
Awal Maret saya mendapat undangan untuk ikut zoom meeting dari kedutaan Indonesia yang intinya himbauan untuk pulang ke Indonesia atau mengungsi di kedutaan di Yangon demi keamanan/keselamatan. Dan pada saat itu juga saya mendapat telpon dari Sr. Hing Pai (provincial Myanmar yang berada di Yangon) dan saran beliau, untuk pulang dulu ke Indonesia. Awalnya saya mengungkapkan bahwa saya masih ingin tinggal tetap saja di Myitkyina karena transportasi ke Yangon pun sudah sulit. Tapi keesokannya saya ditelpon kembali oleh beliau dan disarankan untuk segera pulang dulu ke Indonesia bila ada kemungkinan, karena suasana politik semakin memburuk dan tak menentu juga tidak aman. Saya sangat bisa mengerti, mereka sangat mengkwatirkan keadaan saya, dan visa saya juga visa turis jadi katanya harus tinggal di hotel tidak bisa di biara. Sedangkan pihak hotel pun tidak bisa menjamin keamanannya. Beberapa hari sebelumnya, militer sudah mendatangi keuskupan dan pastoran untuk mengecek dan minta data siapa saja yang tinggal di tempat itu dan sukunya apa.
Lalu dengan berbagai upaya, saya mencari tiket untuk ke Yangon, awalnya tidak ada tiket, semua maskapai penerbangan sudah ditutup dan dikuasai oleh militer. Kalau melalui darat/bus biasanya 2 hari perjalanan namun saat sekarang pastilah sulit, akan banyak cek point juga berbahaya. Namun akhirnya suatu pagi, saya ditelpon dan dikatakan besok ada pesawat milik militer yang akan ke Yangon, kalau mau ikut harus test covid sekarang. Dan akhirnya saya ke Yangon dengan pesawat militer tersebut. Sampai di Yangon, bandara sepi sekali, hanya banyak tentara dengan posisi tegak berdiri pegang senjata seperti siap untuk menembak. Cukup mengerikan dan menegangkan rasanya.
Dari bandara itu saya dijemput oleh kawan, orang Indonesia yang tinggal di Myanmar (utusan dari kedutaan Indonesia). Saya tiba di Yangon, sore hari. Lalu saya dibawa ke apartemen dan bermalam di sana, karena memang tidak mungkin ke biara FMM-Tamwe; di situ tempat atau pusat perangnya mereka. Memang biara kita letaknya pas bersebelahan dengan markas tentara. Jadi Sr. Hing Pai (provincial) pun mengatakan tidak mungkin saya ke biara, sangat beresiko dan sulit. Banyak penjagaan ketat oleh militer dan demo. Luar biasa mereka membantu saya seluruhnya (cari tiket ke Indonesia, test PCR dan hotel untuk karantina 6 hari setelah tiba dan lain-lain). Mereka semua yang membantu sehingga saya bisa tiba di Indonesia dengan selamat dan aman. Sungguh mukzizat. Memang tidak mudah untuk mengurus ini semua saat itu. Harus gerak cepat dan tepat, saya percaya Roh Kuduslah yang membimbing. Besoknya jam 6 pagi saya diantar ke bandara lagi untuk pulang ke Indo. Antrian Panjang dan banyak tentara dengan memegang senapan dimana-mana. Penumpang pesawat kebanyakan orang asing yang ingin pulang/keluar dari Myanmar. Tepatnya 17 Maret saya pulang ke Indonesia, tiba sekitar jam 8 malam. Tak ada kata yang cukup untuk mengungkapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas segala kebaikan dan kemurahan Tuhan dengan mengutus orang-orang yang sangat baik dan membantu saya. Hanya Tuhan sajalah yang akan membalas segala kebaikan mereka.
Hampir 2 bulan berlalu, sampai saat ini saya masih sangat berharap dan berdoa, semoga perang di Myanmar segera berakhir sehingga kedamaian dan keadilan serta demokrasi yang mereka harapkan segera terwujud. Dan saya dapat kembali bermisi di sana ….. Semoga ya, semoga. Amin.
Slipi, 14 Mei 2021
Rina, fmm